1 tahun ++ Hidup di Jakarta


Jakarta, ibukota Indonesia yang sudah terkenal dengan segala kemacetan, banjir, sampah, dan problematika lain. Hmm..lalu apakah memang benar seperti itu?

Aku mulai hidup di Jakarta pada bulan Januari 2018. Tujuanku bukan untuk mengikuti arus urbanisasi, menjadi artis, atau sekedar mengadu nasib, tidak, tidak seperti itu. Aku datang untuk memenuhi panggilan tugas menjadi calon pegawai negeri sipil di Kementerian Pertanian. Meski harus kuakui, pilihan bekerja di Jakarta adalah pilihanku sendiri.

Pertama datang di Jakarta dan disarankan menaiki KRL (Kereta Rel Listrik) Commuter Line membuatku bingung. Aku harus masuk lewat mana? Bayarnya dengan apa? Aku harus turun stasiun mana? Beruntung aku tak sendiri waktu itu. Secara tidak sengaja aku bertemu teman kampus yang juga diterima di Kementerian Pertanian. Bersama temanku yang sudah lebih dulu bekerja di Jakarta, aku diajak mencoba transportasi lain, Bus Transjakarta. Bus ini masih menjadi favoritku untuk pergi kemanapun hingga saat ini. Segera aku membeli kartu e-money sendiri untuk memudahkan transaksi transportasi umum apapun di kota ini.

Aku tinggal dan bekerja di daerah Rawamangun, Jakarta. Di sini, semua saluran gotnya bau. Warnanya sudah bukan coklat lagi, tapi hitam, hitam pekat yang bau. Keadaan sungai pun sama. Aku heran bagaimana orang-orang seakan tidak peduli dengan pemandangan dan bau seperti ini. Tidak pernah kutemui sungai dan got sekotor itu selain di Jakarta. Pejalan kaki harus memakai masker untuk menghindari asap polusi jalanan sekaligus bau selokan.

Don’t judge a book by its cover, itulah yang aku rasakan pertama pergi ke mall di Jakarta. Aku dan seorang teman menyewa sebuah kos yang terbilang bagus dengan harga menengah. Kami patungan masing-masing 1 juta rupiah untuk sebuah kamar dengan AC dan kamar mandi pribadi. Rumah kos kami tampak seperti rumah normal (bukan rumah kos) dengan halaman parkir yang muat 3 mobil saja. Suatu malam kami berniat pergi ke mall terdekat dengan menumpang taksi online. Di dalam taksi online terjadi kisah lucu.

Temanku lebih muda 2 tahun dibanding aku sehingga dia memanggilku ‘mbak’ (jawa: kakak perempuan). Kami bercakap-cakap di dalam taksi online dengan bahasa indonesia campur jawa. Sopir taksi online rupanya ingin mencoba akrab dan bertanya “mbaknya kerja disitu (kos kami) ya?” Kami pun kompak menjawab “nggak pak.” Selanjutnya pak sopir bercerita panjang lebar tentang saudaranya yang punya sebuah restoran baru dan bisa jadi membutuhkan karyawan. Kami diam saja mendengarkan, sampai mobil melewati jalan Pemuda (jalan besar) dan aku berkata “ini jalan ke tempat kantor kita kan?” Pak sopir kontan sedikit kaget dan bertanya “kantor mbak di jalan ini? Mbak kerja dimana?” Setelah kami menjelaskan bahwa kami bekerja di salah satu kantor Badan Karantina Pertanian barulah pak sopir tersebut malu dan kemudian berbasa-basi. Rupanya kami dikira ART (asisten rumah tangga) yang baru mengadu nasib di Jakarta. Astagaa..

Satu tahun lalu wajar jika ada orang mengira kami ART, karena pada saat itu penampilan kami kurus kering dan muka kusam kecoklatan setelah selesai digembleng dalam diklat (pendidikan dan latihan) selama 1 minggu. Namun sekarang keadaan justru berbalik, beberapa bulan lalu saat aku pulang berbelanja, sopir ojek online yang kutumpangi bertanya “kenapa belanja sendiri Bu, bukan pembantunya?” Aku hanya tertawa dalam hati.

bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nonograms Tutorial, Game yang (Katanya) Sulit

Cerita Unik Penuh Hikmah di Webtoon ‘Tales Of The Unusual’ -part 1-

Cerita Unik Penuh Hikmah di Webtoon 'Tales Of The Unusual' -part 3.end-