Berburu Hunian di Jakarta as Millennials (part 1)

Siapa sih yang nggak pengen punya rumah, pasti semua pengen punya rumah. Ini adalah ceritaku mencari hunian atau rumah masa depan di Jakarta. Iya, Jakarta, yang padat itu, yang macet itu, yang pemandangan cuma gedung, yang saluran gotnya bau dan sungainya kotor. Dulu awalnya aku pikir akan sulit menemukan rumah di Jakarta karena tidak adanya lahan, tapi....ternyata masih banyak dan bahkan ada pembangunan cluster-cluster baru. Tinggal siapkan uang milyaran saja, yang kita kaum milenial dengan pengalaman kerja baru seumur jagung mana mampu beli 😅

Aku mulai ingin mencari rumah sejak menikah bulan Agustus 2018. Aku mulai survei kecil-kecilan dan bertanya pada orang-orang. Sayangnya respon yang kudapat kebanyakan negatif, karena sudah menjadi semacam tradisi bahwa orang kerja di Jakarta itu beli rumahnya ya di Bogor, Bekasi, atau Depok dan Tangerang. Beli di Jakarta itu dianggap semacam mimpi di siang bolong. Kebetulan kantorku ada di daerah Rawamangun dan suami bekerja di daerah Pantai Indah Kapuk. Aku berpikir jika kami punya rumah di Bogor maka aku akan ikut mobil jemputan kantor, sedangkan suami mau nggak mau memilih antara naik KRL atau kendaraan pribadi dimana saat itu kami hanya punya motor. Masa iya harus beli mobil dulu demi rumah di Bogor..?? Pilihan dekat lain seperti Cibubur, Depok, Tangerang, dan Bekasi Barat juga memberikan jawaban yang sama. Maka mulailah kami berburu rumah sedekat mungkin dan seekonomis mungkin. Alasannya? karena kami nggak ingin tua di jalanan 😎

Hasil pencarian pertama yang potensial adalah sebuah townhouse di daerah Utan Kayu seharga 500an juta. Ada akses mobil dan bangunan dibuat bertingkat 2 atau 3 tergantung permintaan. Lantai 1 bisa full dijadikan carport karena (ini pahitnya) luas kavling hanya sekitar 19-22 meter persegi. Ukuran ini cocok untuk investasi ketika masih single atau sudah menikah dengan 1 anak. Kami banyak berkonsultasi dengan orang tua terkait pembelian rumah sehingga kami memutuskan mundur karena ukurannya terlalu kecil untuk masa depan. Townhouse ukuran yang lebih besar pun sebenarnya ada dengan harga 700-900 juta. Pilihan lain yang dekat saat itu adalah rumah-rumah tua yang bobrok dan harga jualnya mengandalkan hitung luas tanah. Itu pun harga masih tinggi sekitar 800-900 juta.


Contoh townhouse
sumber: dok pribadi


Hasil pencarian kedua adalah sebuah mini cluster di daerah Penggilingan seharga 300an juta. Harga ini adalah harga fix dari pemilik dengan metode pembayaran cash keras. Mini cluster sendiri adalah semacam perumahan tapi lebih mini. Jumlah rumahnya pun < 20 unit. Perumahan ini cukup laku sehingga saat itu yang tersisa adalah rumah dengan luas 40an vs rumah luas 50an tapi tanah dan bangunan miring. Kebetulan mini cluster tersebut bersebelahan dengan perumahan umum namun dibatasi dengan tembok tinggi. Ya, tembok tersebut ada untuk membatasi area sosial yang berbeda, karena jalan untuk menuju mini cluster harus melewati perkampungan yang sedikit kumuh. Jalan tersebut sempit dan hanya bisa dilalui 1 motor. Aku dan suami berinisiatif mencari area parkir bersama (untuk mobil) di sekitar namun hasilnya nihil. Kupikir, tidak ada masa depan memiliki mobil ataupun sekedar bepergian dengan taksi jika membeli mini cluster tersebut 🙈


Mini cluster dengan lebar jalan hanya cukup dilalui motor
sumber: dok pribadi

Perburuan dilanjutkan ke arah selatan dimana kami menemukan perumahan standar yang sudah berkembang di daerah Bintara. Perumahan yang masih dibuka penjualannya adalah perumahan tahap III yang bersisian langsung dengan tol lingkar luar Jakarta (tol JORR). Meski bersisian dengan tol di sebelah barat, daerah Bintara masuk dalam wilayah administrasi Kota Bekasi. Di sana pilihan kami jatuh pada rumah 1 lantai berukuran 56 meter persegi seharga 565 juta. Rumah tersebut sudah dibangun dan dalam tahap finishing. Akses mobil mudah karena jalan selebar 4 meter, pun rumahnya sudah ada carport. Kekurangannya adalah perluasan di masa depan hanya bisa vertikal. Kanan, kiri dan belakang rumah sudah kavling milik orang lain. Developer meminta pembayaran cash keras karena mereka tidak bekerja sama dengan bank. Merasa sreg saat itu, maka kami membayar deposit tanda jadi terlebih dulu senilai 5 juta rupiah. Saat itulah kami melakukan kesalahan, sampai saat ini uang itu tidak kembali dan tidak ada kuitansi yang kami pegang karena uang kami transfer saat hari kerja. Tidak ada pengiriman kuitansi, tidak ada perjanjian hitam di atas putih tentang apa yang akan terjadi pada uang deposit jika kami melakukan pembatalan.


bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nonograms Tutorial, Game yang (Katanya) Sulit

Cerita Unik Penuh Hikmah di Webtoon ‘Tales Of The Unusual’ -part 1-

Cerita Unik Penuh Hikmah di Webtoon 'Tales Of The Unusual' -part 3.end-